"Blog ini gratis, menandakan tidak menerima bantuan dari asing."

Wawancara Tempo dengan AM. Hendropriyono - by Tempointeraktif

Munir Tidak Masuk Radar Kami

Selasa, 07 Juni 2005 | 12:16 WIB

TEMPO Interaktif, : SENJA baru bergulir ketika Land Cruiser hitam itu memasuki pelataran Markas Besar Kepolisian di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Ahad (29/5). Baru beberapa meter dari gerbang, mobil berhenti. "Kita ke kanan kan, Pak? Ke Kapolri?" tanya sang sopir. "Ah, kau. Bukan! Kita ke bagian pelayanan masyarakat. Udah pensiun enggak ada urusan sama Kapolri," kata sang juragan.

Pensiunan jenderal itu membuka jendela mobil. Dua polisi yang mendekat segera memberi hormat. "Bisa diantar ke Yanmas?" ujarnya. Kedua polisi mengangguk dan berlari di depan mobil Land Cruiser itu sambil menunjukkan arah. Sang pensiunan jenderal tak lain adalah Abdullah Makhmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Sang jenderal sore itu melaporkan Rachland Nashidik dan Usman Hamid, dua anggota tim pencari fakta kasus kematian aktivis hak asasi manusia Munir ke polisi. Hendro menganggap keduanya telah memfitnah dan mencemarkan nama baiknya lewat pernyataan mereka di media massa.

Di tengah kesibukan menyiapkan berkas pengaduan ke polisi, Ahad lalu, Hendro menyempatkan diri menerima Tempo untuk sebuah wawancara di kantornya, di Jalan Dr. Saharjo, Jakarta Selatan.

Mengapa Anda melaporkan dua anggota TPF ke Mabes Polri?
Saya merasa nama baik saya dicemarkan dengan menyebut di media bahwa saya terlibat kasus ini. Indikasinya apa? Lalu saya dikatakan ke Amerika dan mereka akan memburu saya. Diburu! Kalimat ini menusuk hati. Padahal saya tidak sedang di Amerika. Ini tidak benar dan sudah fitnah. Awalnya saya mengira TPF itu profesional. Saya menganggap ini kasus hukum, jadi harus diselesaikan aparat, bukan secara politik. Tapi ini disalahgunakan. Agendanya tidak jelas, tidak mengarah pada upaya mengungkap kematian Munir. Akibat gembar-gembor di media itu, saya tidak tenang. Karena itu, harus saya lawan secara hukum agar tak jadi preseden.

Seberapa jauh opini itu berdampak pada Anda?
Sangat besar. Misalnya saya sedang menjamu kolega dari luar negeri. Waktu saya persilakan minum, mereka bilang, "Ini ada arseniknya nggak?" Memang bergurau, tapi kan menyakitkan. Kejadian ini bukan sekali-dua kali. Terus dibilang saya mau diperiksa. Ini membuat jadwal saya terganggu. Teman-teman yang sudah berencana bertemu saya membatalkan janji.

Anda di mana dalam beberapa bulan terakhir?
Di Cibubur, di rumah saya.

Sebenarnya Anda tersangkut atau enggak dengan kasus pembunuhan Munir?
Saya merasa tidak tersangkut. Yang tahu hanya Allah. Tapi silakan diperiksa sesuai dengan hukum jika ini disinyalir sebagai satu kejahatan. Ini aspek hukum, jadi harusnya pendekatannya, ya, hukum. Kenapa lalu jadi ingar-bingar di luar hukum?

Jadi, kalau harus memberikan keterangan, Anda maunya ke mana?
Ke polisi, dong. Ke penyidik. Sebagai warga negara, kalau polisi memanggil, wajib datang.

Dari mana Anda tahu disangkutpautkan dengan kasus ini? Sudah ada undangan dari TPF?
Saya hanya baca koran. Tak pernah ada undangan. Telepon juga tak ada. (Kepada sebuah stasiun televisi, Hendro mengaku menerima undangan dari TPF, Selasa malam lalu--Red.)

Jika diundang TPF, Anda akan datang?
Tunggu dulu. Kalau melihat kinerja seperti ini, tidak cermat, tidak profesional, jangankan saya, siapa pun akan mikir dua kali untuk datang. Emangnya siapa dia, bisa sewenang-wenang? Punya keppres terus apa bisa sewenang-wenang?

Pangkalnya adalah Pollycarpus. Benarkah dia anggota BIN?
Saya sudah cek, dia bukan anggota. Tiga tahun saya memimpin BIN. Walau anggotanya ribuan, saya cukup kenal anak buah saya. Apalagi namanya aneh. Seumur hidup saya belum pernah dengar nama itu. Saya sudah mengecek ke personalia BIN. Katanya tidak ada.

Bagaimana pula dengan soal nomor senjata api Polly?
Diracun apa hubungannya dengan senjata?

Tapi TPF mendapat info hubungan telepon Polly dengan seorang Deputi BIN?
Begini, satu kantor birokrasi itu kan kantor pelayanan publik kepada seluruh rakyat yang mau memberikan informasi. Intelijen kan collecting informasi. Jadi, rakyat bisa saja menelepon ke kantor polisi, kantor koramil, ke kantor BIN. Dan semua itu yang menerima bukan saya, melainkan operator. Jadi, mana saya tahu?

Apakah pelacakan nomor telepon BIN diizinkan?
Itu saya terangkan dalam artikel saya di The Jakarta Post. (Dimuat di The Jakarta Post, 11 Mei 2005, dengan judul "Peeling Back the Intelligence Veil in the Murder of Munir"--Red.) Di situ saya jelaskan, memberikan nomor telepon BIN sebenarnya tidak boleh selama kita melakukan gerakan antiterorisme. Nomor seharusnya dirahasiakan. Saya nggak tahu, ini kok malah dibuka. Jadi rusak sama sekali. Ada agenda apa di balik ini?

Kesannya, BIN menghalang-halangi...
Itu salah besar. Tentu saja tidak bisa menceritakan semuanya, karena beberapa hal di BIN menyangkut kerahasiaan negara. Hukuman membocorkan rahasia negara tak hanya untuk yang bertanya. Yang memberi juga kena. Jadi, tidak benar kalau BIN tak pernah memberikan akses kepada TPF. Yang tidak dikasih Pak Syamsir yang rahasia. Saya atau siapa pun, kalau jadi Kepala BIN, harus begitu.

Artikel Anda di The Jakarta Post dan The Straits Times dipersoalkan TPF. Mengapa materi itu tidak disampaikan saja kepada mereka?
Sebagai rakyat, saya punya hak dan kebebasan menulis. Soal ke mana saya tulis dan tidak ke TPF, itu hak saya. Emangnya lembaga ini super sekali sehingga saya harus menyampaikan ke TPF? Apakah saya tidak boleh menerima wawancara Tempo? Siapa yang mengharuskan? Harusnya dia, dong, yang mencari saya. Bukan sebaliknya.

Waktu Munir meninggal, Anda di mana?
Di rumah. Saya tahu waktu baca koran pagi. Awalnya kan dibilang dia punya riwayat sakit hepatitis. Setelah itu, saya nggak ngikutin lagi. Menjelang pergantian presiden, saya sibuk kukut-kukut. Saya concern baru-baru ini saja setelah ramai-ramai disangkut-sangkutin dengan BIN. Saya kaget. Apalagi mulai dibentuk TPF.

Sempat bertemu Munir sebelum meninggal?
Pernah. Dalam wawancara radio El Shinta, saya dipertemukan dengan Munir. Setelah itu, tak pernah lagi. Memang pernah ada keinginan saya bertemu Munir, yang saya sampaikan saat bertemu Todung Mulya Lubis. Saya ingin dia menjadi pembicara tetap untuk sekolah intelijen yang saya rintis. Kami butuh dosen-dosen tamu untuk memberi tambahan wawasan. Tapi, kata Pak Mulya, Munir mau sekolah ke Belanda, ambil master. Di situ saya baru tahu Munir belum S-2. Akhirnya saya tak jadi mengundang dia. Syarat mengajar di sekolah itu kan harus sudah S-2.

(Kepada Tempo, pengacara Todung Mulya Lubis mengakui pertemuan itu. Ia bertemu Hendro sebagai Ketua International Crisis Group (ICG) di Indonesia dan membicarakan nasib rekannya, Sidney Jones, yang akan dideportasi. Ia mengakui adanya pembicaraan soal dosen tamu sekolah intelijen. Mulya ditawari mengajar. Pertemuan pun membahas soal Munir. Namun, seingat Mulya, Hendro berniat bertemu Munir dalam kasus beda pandangan mereka soal RUU Intelijen.)

Apa pertimbangan Anda menawari Munir jadi dosen tamu?
Banyak yang akan diundang. Munir salah satunya. Kebetulan saya concern pada pemikirannya soal HAM. HAM kan diinterpretasikan berbeda-beda. Pemikiran yang berbeda perlu disambut. Di Lemhannas, mereka yang berpikir beda juga disambut.

Benarkah kematian Munir terkait dengan Pemilu 2004? Teorinya, ada perintah kepada BIN untuk melenyapkan Munir, yang anti-militer, dengan maksud mendiskreditkan Yudhoyono sebagai kandidat dari militer.
Wah, makin nggak betul. Setahu saya, dalam kampanye presiden itu, Munir pro-Mega. Dan Ibu Mega tak mungkin memusuhi dia. Malah, kalau nggak salah, rasanya yang mengatur pesawat yang membawa jenazah Munir itu Mas Taufiq (Taufiq Kiemas--Red.).

Selama ini BIN bersikap keras terhadap mereka yang dianggap musuh negara. Apakah Munir termasuk kategori musuh negara?
Nggak! Munir tidak masuk radar kami. Musuh negara itu kan yang membahayakan rakyat, membahayakan pemerintah dan integritas teritorialnya.

Meski dia kritis terhadap intelijen?
Kritis belum tentu musuh. Orang mengkritik beda dengan berkhianat. Tak ada keuntungan politik apa pun dengan meninggalnya Munir. Saya tak punya masalah dengan dia, kenal pribadi juga tidak. Saya bukan tipe orang yang suka dengan orang yang hanya setuju dan mendukung saya. Saya suka orang yang mengkritisi saya, kasih argumen.

Anda sempat mengontak Muchdi dan Nurhadi soal pemanggilan TPF?
Saya hanya baca di koran. Ketemu juga waktu ulang tahun BIN, 7 Mei lalu. Tapi nggak sempat ngomong panjang. Saya khawatir, kalau saya tanya macam-macam, nanti nggak enak, mengganggu. Mungkin mereka juga stres kalau dipanggil-panggil seperti itu.

Anda yakin Muchdi tidak memerintahkan operasi pembunuhan Munir?
Saya sulit percaya Muchdi melakukan pekerjaan seperti itu. Muchdi orang yang religius karena gede di pesantren. Dia juga berpengalaman luas dan profesional.

sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/06/07/brk,20050607-62123,id.html

Tidak ada komentar: